Rabu, 12 Februari 2014

SEORANG YAHUDI MENG ISLAMKAN JUTAAN ORANG



Di suatu tempat di Perancis
sekitar lima puluh tahun yang
lalu, ada seorang
berkebangsaan Turki berumur 50 tahun bernama
Ibrahim, ia adalah orang tua
yang menjual makanan di
sebuah toko makanan. Toko
tersebut terletak di sebuah
apartemen dimana salah satu penghuninya adalah
keluarga Yahudi yang memiliki
seorang anak bernama “Jad”
berumur 7 tahun. Jad si anak
Yahudi Hampir setiap hari
mendatangi toko tempat dimana Ibrahim bekerja
untuk membeli kebutuhan
rumah, setiap kali hendak
keluar dari toko –dan Ibrahim
dianggapnya lengah– Jad
selalu mengambil sepotong cokelat milik Ibrahim tanpa
seizinnya. Pada suatu hari usai belanja,
Jad lupa tidak mengambil
cokelat ketika mau keluar,
kemudian tiba-tiba Ibrahim
memanggilnya dan
memberitahu kalau ia lupa mengambil sepotong cokelat
sebagaimana kebiasaannya.
Jad kaget, karena ia mengira
bahwa Ibrahim tidak
mengetahui apa yang ia
lakukan selama ini. Ia pun segera meminta maaf dan
takut jika saja Ibrahim
melaporkan perbuatannya
tersebut kepada
orangtuanya. Ibrahim pun
menjawab: “Tidak apa, yang penting kamu berjanji untuk
tidak mengambil sesuatu
tanpa izin, dan setiap saat
kamu mau keluar dari sini,
ambillah sepotong cokelat,
itu adalah milikmu!” Jad pun menyetujuinya dengan
penuh kegirangan. Waktu berlalu, tahun pun
berganti dan Ibrahim yang
muslim kini menjadi layaknya
seorang ayah dan teman
akrab bagi Jad si anak
Yahudi. Sudah menjadi kebiasaan Jad saat
menghadapi masalah, ia
selalu datang dan
berkonsultasi kepada
Ibrahim. Dan setiap kali Jad
selesai bercerita, Ibrahim selalu mengambil sebuah buku
dari laci, memberikannya
kepada Jad dan kemudian
menyuruhnya untuk
membukanya secara acak.
Setelah Jad membukanya, kemudian Ibrahim membaca
dua lembar darinya,
menutupnya dan mulai
memberikan nasehat dan
solusi dari permasalahan
Jad. Beberapa tahun pun berlalu dan begitulah hari-
hari yang dilalui Jad bersama
Ibrahim, seorang Muslim
Turki yang tua dan tidak
berpendidikan tinggi. 14
tahun berlalu, kini Jad telah menjadi seorang pemuda
gagah dan berumur 24
tahun, sedangkan Ibrahim
saat itu berumur 67 tahun.
Ibrahim pun akhirnya
meninggal, namun sebelum wafat ia telah menyimpan
sebuah kotak yang dititipkan
kepada anak-anaknya
dimana di dalam kotak
tersebut ia letakkan sebuah
buku yang selalu ia baca setiap kali Jad berkonsultasi
kepadanya. Ibrahim
berwasiat agar anak-
anaknya nanti memberikan
buku tersebut sebagai
hadiah untuk Jad, seorang pemuda Yahudi.
Jad baru mengetahui
wafatnya Ibrahim ketika
putranya menyampaikan
wasiat untuk memberikan
sebuah kotak, Jad pun merasa tergoncang dan
sangat bersedih dengan
berita tersebut, karena
Ibrahim lah yang selama ini
memberikan solusi dari
semua permasalahannya, dan Ibrahim lah satu-satunya
teman sejati baginya. Hari-
haripun berlalu, Setiap kali
dirundung masalah, Jad
selalu teringat Ibrahim. Kini ia
hanya meninggalkan sebuah kotak. Kotak yang selalu ia
buka, di dalamnya tersimpan
sebuah buku yang dulu selalu
dibaca Ibrahim setiap kali ia
mendatanginya. Jad lalu
mencoba membuka lembaran-lembaran buku itu,
akan tetapi kitab itu
berisikan tulisan berbahasa
Arab sedangkan ia tidak bisa
membacanya. Kemudian ia pergi ke salah
seorang temannya yang
berkebangsaan Tunisia dan
memintanya untuk
membacakan dua lembar dari
kitab tersebut. Persis sebagaimana kebiasaan
Ibrahim dahulu yang selalu
memintanya membuka
lembaran kitab itu dengan
acak saat ia datang
berkonsultasi. Teman Tunisia tersebut kemudian
membacakan dan
menerangkan makna dari dua
lembar yang telah ia
tunjukkan. Dan ternyata,
apa yang dibaca oleh temannya itu, mengena
persis ke dalam
permasalahan yang dialami
Jad kala itu. Lalu Jad
bercerita mengenai
permasalahan yang tengah menimpanya, Kemudian
teman Tunisianya itu
memberikan solusi
kepadanya sesuai apa yang
ia baca dari kitab tersebut.
Jad pun terhenyak kaget, kemudian dengan penuh rasa
penasaran ini bertanya,
“Buku apa ini !?” Ia
menjawab : “Ini adalah Al-
Qur’an, kitab sucinya orang
Islam!” Jad sedikit tak percaya, sekaligus merasa
takjub, Jad lalu kembali
bertanya: “Bagaimana
caranya menjadi seorang
muslim?” Temannya
menjawab : “Mengucapkan syahadat dan mengikuti
syariat!” Setelah itu, dan
tanpa ada rasa ragu, Jad lalu
mengucapkan Syahadat, ia
pun kini memeluk agama
Islam! Jadullah seorang Muslim. Kini Jad sudah
menjadi seorang muslim,
kemudian ia mengganti
namanya menjadi Jadullah
Al-Qur’ani sebagai rasa
takdzim atas kitab Al-Qur’an yang begitu istimewa dan
mampu menjawab seluruh
problema hidupnya selama
ini. Dan sejak saat itulah ia
memutuskan akan
menghabiskan sisa hidupnya untuk mengabdi
menyebarkan ajaran Al-
Qur’an. Mulailah Jadullah
mempelajari Al-Qur’an serta
memahami isinya,
dilanjutkan dengan berdakwah di Eropa hingga
berhasil mengislamkan enam
ribu Yahudi dan Nasrani. Suatu hari, Jadullah
membuka lembaran-
lembaran Al-Qur’an hadiah
dari Ibrahim itu. Tiba-tiba ia
mendapati sebuah lembaran
bergambarkan peta dunia. Pada saat matanya tertuju
pada gambar benua afrika,
nampak di atasnya tertera
tanda tangan Ibrahim dan
dibawah tanda tangan itu
tertuliskan ayat : “Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik!!…” (QS.
An-Nahl; 125) Iapun yakin
bahwa ini adalah wasiat dari
Ibrahim dan ia memutuskan untuk melaksanakannya.
Beberapa waktu kemudian
Jadullah meninggalkan Eropa
dan pergi berdakwah ke
negara-negara Afrika yang
diantaranya adalah Kenya, Sudan bagian selatan (yang
mayoritas penduduknya
adalah Nasrani), Uganda
serta negara-negara
sekitarnya. Jadullah berhasil
mengislamkan lebih dari 6.000.000 (enam juta)
orang dari suku Zolo, ini baru
satu suku, belum dengan
suku-suku lainnya. Akhir
Hayat Jadullah Jadullah Al-
Qur’ani, seorang muslim sejati, da’i hakiki,
menghabiskan umur 30 tahun
sejak keislamannya untuk
berdakwah di negara-negara
Afrika yang gersang dan
berhasil mengislamkan jutaan orang. Jadullah wafat pada tahun
2003 yang sebelumnya
sempat sakit. Kala itu beliau
berumur 45 tahun, beliau
wafat dalam masa-masa
berdakwah. Kisah pun belum selesai Ibu Jadullah Al-Qur’ani
adalah seorang wanita
Yahudi yang fanatik, ia
adalah wanita berpendidikan
dan dosen di salah satu
perguruan tinggi. Ibunya baru memeluk Islam pada
tahun 2005, dua tahun
sepeninggal Jadullah yaitu
saat berumur 70 tahun. Sang
ibu bercerita bahwa –saat
putranya masih hidup– ia menghabiskan waktu selama
30 tahun berusaha sekuat
tenaga untuk mengembalikan
putranya agar kembali
menjadi Yahudi dengan
berbagai macam cara, dengan segenap pengalaman,
kemapanan ilmu dan
kemampuannya, akan tetapi
ia tidak dapat mempengaruhi
putranya untuk kembali
menjadi Yahudi. Sedangkan Ibrahim, seorang Muslim tua
yang tidak berpendidikan
tinggi, mampu melunakkan
hatinya untuk memeluk Islam,
hal ini tidak lain karena
Islamlah satu-satunya agama yang benar. Kemudian yang menjadi
pertanyaan: “Mengapa Jad
si anak Yahudi memeluk
Islam?” Jadullah Al-Qur’ani
bercerita bahwa Ibrahim
yang ia kenal selama 17 tahun tidak pernah
memanggilnya dengan kata-
kata: “Hai orang kafir!” atau
“Hai Yahudi!” bahkan Ibrahim
tidak pernah untuk sekedar
berucap: “Masuklah agama islam!” Bayangkan, selama 17
tahun Ibrahim tidak pernah
sekalipun mengajarinya
tentang agama, tentang
Islam ataupun tentang
Yahudi. Seorang tua muslim sederhana itu tak pernah
mengajaknya diskusi
masalah agama. Akan tetapi
ia tahu bagaimana menuntun
hati seorang anak kecil agar
terikat dengan akhlak Al- Qur’an. Kemudian dari
kesaksian DR. Shafwat
Hijazi (salah seorang dai
kondang Mesir) yang suatu
saat pernah mengikuti
sebuah seminar di London dalam membahas
problematika Darfur serta
solusi penanganan dari
kristenisasi, beliau berjumpa
dengan salah satu pimpinan
suku Zolo. Saat ditanya apakah ia memeluk Islam
melalui Jadullah Al-Qur’ani?,
ia menjawab; tidak! namun ia
memeluk Islam melalui orang
yang diislamkan oleh Jadullah
Al-Qur’ani. Subhanallah, akan ada berapa banyak lagi
orang yang akan masuk Islam
melalui orang-orang yang
diislamkan oleh Jadullah Al-
Qur’ani. Dan Jadullah Al-
Qur’ani sendiri memeluk Islam melalui tangan seorang
muslim tua berkebangsaan
Turki yang tidak
berpendidikan tinggi, namun
memiliki akhlak yang jauh dan
jauh lebih luhur dan suci. Begitulah hikayat tentang
Jadullah Al-Qur’ani, kisah ini
merupakan kisah nyata yang
penulis dapatkan kemudian
penulis terjemahkan dari
catatan Almarhum Syeikh Imad Iffat yang dijuluki
sebagai “Syaikh Kaum
Revolusioner Mesir”. Beliau adalah seorang ulama
Al-Azhar dan anggota
Lembaga Fatwa Mesir yang
ditembak syahid dalam
sebuah insiden di Kairo pada
hari Jumat, 16 Desember 2011 silam.Wallahu A’lam Bis-
Shawab. Penulis: Mustamid,
seorang mahasiswa Program
Licence Universitas Al-Azhar
Kairo Konsentrasi Hukum
Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar